Istilah ‘Provinsi Garis Keras’ Membuat Mahfud MD Merasa Ketakutan Sendiri

GARIS KERAS VS RADIKAL

Tempo hari, Mahfud MD memberi pernyataan yang kemudian videonya menjadi viral dan menimbulkan polemik di masyarakat terkait dengan istilah ‘Provinsi Garis Keras’. Berikut ini cuplikannya :

“Kemarin itu sudah agak panas dan mungkin pembelahannya sekarang kalau lihat sebaran kemenangan ya mengingatkan kita untuk lebih sadar segera rekonsiliasi. Karena sekarang ini kemenangan Pak Jokowi ya menang dan mungkin sulit dibalik kemenangan itu dengan cara apapun

Tapi kalau lihat sebarannya di beberapa provinsi-provinsi yang agak panas, Pak Jokowi kalah. Dan itu diidentifikasi tempat kemenangan Pak Prabowo itu adalah diidentifikasi yang dulunya dianggap provinsi garis keras dalam hal agama misal Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dan sebagainya, Sulawesi Selatan juga.”

Sepintas, pernyataan Mahfud MD tersebut sesungguhnya hendak menyampaikan saran atau himbauan agar Paslon  01 Jokowi-Amin beserta jajarannya.

Apabila nantinya memang secara sah telah diputuskan oleh KPU sebagai pemenang pemilu (Presiden/WaPres Terpilih) maka harus segera melakukan konsolidasi. Khususnya dengan seluruh lapisan masyarakat yang pendukung paslon 02. Itu hal yang wajar saja.

Namun demikian. Mahfud mengait-ngaitkan hasil perhitungan suara dengan sebaran wilayah yang mana beberapa propinsi lebih dominan memilih paslon 02. Propinsi tersebut antara lain Jawa Barat, Sumatera Barat, Aceh dll.

Wacana ini menjadi berkembang manakala propinsi yang disebutnya ‘Garis Keras’ itu pernah terjadi peristiwa pergerakan melawan pemerintah yang dilakukan oleh penduduk beragama Islam.

LATAR BELAKANG SEJARAH

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa dulu pada periode tahun 1953-1955 pernah terjadi pemberontakan DI/TII Permesta yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Basis kekuatan pergerakan ini bermula dari daerah Tasikmalaya Jawa Barat. Gerakan anti pemerintah ini kala itu juga sempat memperoleh dukungan dan meluas ke berbagai propinsi di tanah air antara lain Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tujuan pergerakan itu adalah untuk mendirikan negara Islam di Indonesia.

Karena adanya latar belakang sejarah tersebut, maka pernyataan Mahfud yaitu dengan mengaitkannya dengan provinsi garis keras, membuat warga setempat merasa tersinggung sebab seolah-olah dianggap sebagai daerah atau pusat permberontakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

Baca juga :  Pria ini Rela Berlutut Selama 30 Hari Hanya Untuk Meminta Maaf

Namun demikian, mungkin Mahfud MD terlupa bahwa justru dari propinsi-propinsi tersebut jauh-jauh hari juga sudah melahirkan para pahlawan nasional yang gigih berjuang melawan penjajah antara lain Imam Bonjol dari Sumatera Barat, Cut Nyak Dien, Cut Mutia (Aceh),  Oto Iskandar Dinata (Otista), Sjafruddin Prawiranegara (Jawa Barat), Pangeran Antasari (KalSel), Sultan Hasanuddin (SulSel)

KARNI ILYAS MENYANGGAH

Sementara itu, pernyataan Mahfud MD tersebut juga diluruskan oleh Karni Ilyas, bahwa pemberontakan DI/TII Permesta pimpinan Kartosuwiryo, bukanlah pemberontakan yang digerakkan oleh umat muslim.

Sebab di daerah Aceh, Sulawesi Selatan dan daerah lainnya dipimpin dari kalangan militer (eks Militer). Karni Ilyas seseungguhnya ingin mengatakan bahwa pemberontakan DI/TII Permesta tidak ada hubungannya dengan pergerakan Islam garis keras.

Hanya saja pada awal mulanya pergerakan tersebut dicetuskan oleh Kartosuwirjo yang notabene seorang muslim.

 

TERSERET ARUS

Tidak berhenti sampai disitu, Mahfud MD pun memberikan pernyataan lagi yang disiarkan melalui acara TV untuk menegaskan kembali istilah ‘Garis Keras’ itu bahwa

“Garis Keras itu bagus. Saya juga garis keras.tau ndak. Garis keras itu artinya fanatik dan kesetiaan yang tinggi tapi tidak radikal”.

 

Makin terlihat bahwa Mahfud telah terseret oleh istilah ‘Garis Keras’ yang dibuatnya sendiri. Bahkan Mahfud juga menyatakan bahwa istilah  ‘Garis keras’ menurutnya bukan ‘Radikal. Kali ini Mahfud berusaha membuat alibi, untuk memberi kesan bahwa dirinya tidak sedang mempersamakan warga Provinsi Garis Keras dengan warga Radikal.

MAKNA RADIKAL

Apa sesungguhnya makna dari kata ‘Radikal’ itu ? Berikut ini saya kutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) :

radikal1/ra·di·kal/ a 1 secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang –; 2 Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3 maju dalam berpikir atau bertindak;

Para ahli bahasa lainnya mendefinisikan kata ‘Radikal’ yang berasal dari kata ‘Radix’ (akar) adalah perasaan positif terhadap sega;a sesuatu yang bersifat ekstrim sampai ke akar-akarnya.

Coba bandingkan dengan makna kata ‘garis keras’ sebagaimana yang tercantum dalam KBBI :

strategi dan taktik untuk memperjuangkan paham dsb dng perlawanan atau oposisi; (arti)

Jadi, makna kata antara ‘garis keras; dan ‘radikal’ itu sesungguhnya memiliki bagian yang bersinggungan (interseksi). Orang yang memiliki pandangan yang ‘radikal’, tentu dia berada di ‘garis keras’. namun demikian orang yang berada di garis keras, belum tentu dirinya seorang yang radikal.

Baca juga :  Ini Pinjaman Dana Cepat Berbunga Rendah Bagi Karyawan Gaji Rp 3 Jutaan

Oleh karena adanya kebersinggungan makna (interseksi) dari kedua istilah itu, maka istilah ‘garis keras’ ini menjadi sangat sensitif dan berpotensi menimbulkan polemik.

Sepintas, jika orang tak menelaah lebih jauh tentang keterkaitan makna dari kedua kata tersebut, maka kedua istilah tersebut dianggapnya identik . Garis Keras ya sama saja dengan Radikal.

Inilah yang menyebabkan timbulnya polemik di tengah masyarakat, khususnya bagi warga yang tinggal di daerah yang disebut Mahfud sebagai ‘Provinsi Garis Keras’ Dampaknya adalah sebagian warga menuntut Mahfud untuk meminta maaf atas pernyataannya itu.

DITUNGGGANGI KEPENTINGAN POLITIK

Pernyataan Mahfud yang menyinggung ‘Garis Keras’ semakin meruncing sebab ada yang mengait-ngaitkan dengan isu ‘Negara Khilafah’. Ini semakin membuat pusaran polemik makin kencang, padahal sesungguhnya Mahfud sama sekali tak bermaksud mengusik kasus gerakan untuk mendirikan negara khilafah di republik ini.

Dari pihak politikus oposisi yang notabene pendukung paslon 02 pun juga bereaksi dan ikut-ikutan ‘menyerang’. Mahfud dituding berat sebelah dengan pernyataan ‘Garus Keras’ nya itu. Mahfudpun mulai tampak terdesak dan berusaha mencari-cari alasan yang tepat untuk meredam polemik yang terus menjalar tak tentu arah.

Perolehan suara yang memenangkan paslon 02 pada daerah propinsi tertentu tidak serta merta merujuk kepada orientasi pada pemeluk agama tertentu. Sebab pemilu adalah sebagai perwujudan demokrasi untuk memilih pemimpin negara dan bukan pemimpin agama. Sehingga pernyataan Mahfud yang menyinggung keberadaan umat bergama dalam proses pemberian dukungan untuk paslon 02 di provinsi tertentu adalah tidak relevan.

Mungkin Mahfud sendiri di dalam hatinya mengakui adanya kesalahan yang dilakukannya. Seharusnya Mahfud tidak perlu menyampaikan pernyataan dengan membawa-bawa istilah ‘garis keras’ meski itu dalam cakupan saran atau himbauan kepada pemenang pemilu nantinya.

Sudah tau jika penduduk negeri ini sangat sensitif terhadap istilah atau pernyataan yang menyinggung keyakinan dalam beragama, kenapa masih ia lakukan juga?

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bahwa sesungguhnya Mahfud MD ini sekarang berada di kubu mana dan memihak siapa?

Salam