William Anderson, yang dikenal sebagai Codeblu, adalah seorang food vlogger yang populer di platform TikTok dan Instagram. Ia dikenal karena ulasannya yang tajam dan kritis terhadap berbagai produk kuliner. Namun, pada awal tahun 2025, Codeblu menjadi sorotan publik bukan karena ulasannya, melainkan karena dugaan pemerasan terhadap sebuah toko kue ternama, Clairmont Patisserie.
Kronologi Kasus
Kasus ini bermula ketika Codeblu mengunggah ulasan yang menuduh Clairmont Patisserie menjual kue kedaluwarsa. Tuduhan tersebut segera dibantah oleh pihak Clairmont yang menyatakan bahwa produk mereka selalu mengikuti standar kualitas yang ketat. Setelah klarifikasi tersebut, muncul dugaan bahwa Codeblu meminta sejumlah uang kepada Clairmont untuk menghapus ulasan negatif tersebut. Jumlah yang diminta dikabarkan mencapai Rp350 juta.
Reaksi Publik dan Gerakan Boikot
Dugaan pemerasan ini memicu reaksi keras dari komunitas kuliner dan warganet. Banyak yang menilai tindakan tersebut tidak etis dan merugikan pelaku usaha kuliner. Akun Instagram @gastronusa, yang dikenal sebagai komunitas pecinta kuliner, menginisiasi gerakan boikot terhadap Codeblu. Mereka mengajak pelaku usaha kuliner untuk menolak kehadiran Codeblu dan memasang tanda penolakan di tempat usaha mereka.
Gerakan boikot ini mendapat dukungan luas dari warganet. Banyak yang merasa bahwa tindakan Codeblu telah merusak kepercayaan antara food reviewer dan pelaku usaha kuliner. Mereka berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi reviewer lain untuk lebih berhati-hati dan menjaga etika dalam memberikan ulasan.
Tanggapan Codeblu
Menanggapi tuduhan dan gerakan boikot tersebut, Codeblu menyatakan bahwa dirinya tidak pernah melakukan pemerasan. Ia mengklaim bahwa ulasan yang diberikan selalu berdasarkan pengalaman pribadi dan tidak ada niat untuk merugikan pihak manapun. Namun, pernyataan tersebut tidak meredakan gerakan boikot yang terus meluas di media sosial.
Dampak dan Pelajaran
Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan etika dalam dunia food reviewing. Food vlogger memiliki pengaruh besar terhadap persepsi publik terhadap suatu produk atau tempat makan. Oleh karena itu, ulasan yang diberikan harus objektif, jujur, dan tidak didasarkan pada motif tersembunyi. Selain itu, pelaku usaha kuliner diharapkan lebih selektif dalam menerima reviewer dan berani menolak jika merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
Secara keseluruhan, kasus Codeblu menjadi pengingat bagi semua pihak untuk menjaga profesionalisme dan etika dalam industri kuliner, baik sebagai reviewer maupun pelaku usaha.
Tinjauan Hukum Terkait Review Masakan oleh Vlogger
Dalam era digital saat ini, platform seperti YouTube telah menjadi media utama bagi para kreator konten dalam berbagi pengalaman dan pendapat mereka, termasuk dalam bidang kuliner. Banyak Vlogger yang secara rutin memberikan ulasan terhadap makanan dari berbagai restoran, warung, atau produk kuliner lainnya. Namun, review yang diberikan tidak selalu bersifat positif, dan dalam beberapa kasus, ulasan yang dianggap merugikan pihak tertentu dapat menimbulkan konsekuensi hukum. Artikel ini akan membahas tinjauan hukum terkait review masakan oleh YouTuber di Indonesia, termasuk aspek kebebasan berpendapat, perlindungan konsumen, pencemaran nama baik, serta implikasi hukum lainnya.
Kebebasan Berpendapat vs. Batasan Hukum
Dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Hal ini memberikan dasar hukum bagi setiap individu, termasuk YouTuber, untuk menyampaikan opini mereka terhadap suatu makanan atau restoran.
Namun, kebebasan berpendapat bukanlah hak yang absolut. Dalam Pasal 28J UUD 1945 disebutkan bahwa hak asasi seseorang dapat dibatasi dengan undang-undang demi penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, seorang Vlogger tetap harus berhati-hati dalam memberikan ulasan agar tidak melanggar hukum yang berlaku.
Aspek Perlindungan Konsumen
Dalam beberapa kasus, review masakan oleh YouTuber bisa saja mengungkapkan kekurangan suatu makanan atau restoran, yang dalam perspektif hukum dapat dilihat sebagai bagian dari hak konsumen. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai suatu produk.
Dengan demikian, jika seorang Vlogger memberikan ulasan yang jujur dan objektif mengenai suatu makanan, hal tersebut seharusnya dilindungi oleh hukum. Namun, jika ulasan yang dibuat mengandung informasi yang menyesatkan atau tidak berdasar, maka hal ini bisa berpotensi menimbulkan masalah hukum.
Pencemaran Nama Baik dalam Review Masakan
Salah satu risiko terbesar dalam membuat review masakan adalah kemungkinan dituduh melakukan pencemaran nama baik. Dalam hukum Indonesia, pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan hukuman pidana berupa pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.
Selain itu, Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur tentang pencemaran nama baik dan fitnah. Jika dalam sebuah review terdapat pernyataan yang merugikan nama baik suatu restoran atau pemilik usaha tanpa dasar yang jelas, maka YouTuber tersebut dapat dituntut secara hukum.
Kasus-Kasus Terkait Review Masakan
Sejumlah kasus di Indonesia telah menunjukkan bahwa review yang dianggap merugikan suatu pihak dapat berujung pada proses hukum. Salah satu contohnya adalah kasus seorang Vlogger yang mendapat gugatan dari pemilik restoran setelah memberikan ulasan negatif terhadap makanan yang dijual. Dalam kasus ini, pemilik restoran mengklaim bahwa review yang diberikan tidak objektif dan menyesatkan, sehingga merugikan usaha mereka.
Beberapa YouTuber di Indonesia pernah menghadapi masalah hukum terkait konten ulasan makanan yang mereka buat. Berikut adalah beberapa kasus yang menonjol:
Rius Vernandes dan Menu Garuda Indonesia (2019): Pada tahun 2019, Vlogger Rius Vernandes mengunggah ulasan tentang menu makanan maskapai Garuda Indonesia yang disajikan dalam tulisan tangan. Konten tersebut dianggap merugikan reputasi maskapai, sehingga Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) melaporkannya ke pihak berwajib dengan tuduhan pencemaran nama baik. Polisi memeriksa beberapa saksi terkait kasus ini.
Codeblu dan Dugaan Pemerasan (2023): Food vlogger dengan nama Codeblu diduga melakukan pemerasan terhadap pelaku usaha kuliner untuk menghapus konten ulasan negatif yang telah diunggahnya. Chef Haryo Pramoe menyoroti tindakan tersebut sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik dan mengingatkan bahwa jika terbukti, tindakan tersebut dapat dikenakan pasal pemerasan dan pencemaran nama baik.
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa ulasan makanan yang dibuat oleh YouTuber dapat berujung pada masalah hukum jika tidak dilakukan dengan hati-hati dan sesuai dengan kode etik. Penting bagi para kreator konten untuk selalu mempertimbangkan dampak dari ulasan yang mereka buat dan memastikan bahwa konten tersebut tidak melanggar hukum atau merugikan pihak lain tanpa dasar yang jelas.
Namun, ada juga kasus di mana pengadilan membela hak Vlogger dalam memberikan review yang jujur dan berbasis fakta. Misalnya, jika YouTuber memiliki bukti valid tentang kualitas makanan yang buruk, seperti rekaman atau kesaksian pelanggan lain, maka hal ini bisa menjadi pembelaan hukum yang kuat.
Etika dalam Review Masakan
Selain aspek hukum, penting juga untuk mempertimbangkan aspek etika dalam memberikan review masakan. Berikut beberapa prinsip etika yang sebaiknya diikuti oleh seorang Vlogger dalam melakukan review:
- Objektivitas dan Kejujuran – Review yang dibuat harus berdasarkan pengalaman nyata dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Menghindari Pernyataan yang Bersifat Merendahkan – Kritikan yang diberikan harus konstruktif dan tidak bersifat menghina.
- Memberikan Ruang untuk Klarifikasi – Jika sebuah restoran merasa dirugikan oleh review, YouTuber sebaiknya memberikan kesempatan untuk klarifikasi atau tanggapan dari pihak yang bersangkutan.
- Menghindari Konflik Kepentingan – Jangan memberikan review yang dipengaruhi oleh sponsor atau tekanan pihak tertentu tanpa transparansi kepada audiens.
Implikasi Hukum bagi Vlogger
Berdasarkan pembahasan di atas, ada beberapa konsekuensi hukum yang dapat dihadapi oleh Vlogger jika melakukan review masakan secara tidak hati-hati:
- Tuntutan Pencemaran Nama Baik – Jika review yang dibuat mengandung unsur penghinaan atau pencemaran nama baik, YouTuber dapat dituntut secara pidana maupun perdata.
- Gugatan Perdata atas Kerugian – Restoran atau pemilik usaha yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata untuk meminta ganti rugi atas dampak negatif dari review tersebut.
- Tuntutan dari Konsumen – Jika Vlogger memberikan informasi yang menyesatkan atau tidak benar terkait suatu produk kuliner, konsumen yang merasa dirugikan juga dapat menuntut secara hukum.
Kesimpulan
Review masakan oleh YouTuber memiliki aspek hukum yang kompleks dan perlu dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Meskipun kebebasan berpendapat dilindungi oleh hukum, ada batasan-batasan yang harus diperhatikan agar tidak melanggar UU ITE, KUHP, atau UU Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, penting bagi Vlogger untuk selalu menjaga objektivitas, menghindari penghinaan, serta memastikan bahwa review yang dibuat berbasis fakta dan bukti yang jelas. Dengan demikian, ulasan yang diberikan dapat tetap bermanfaat bagi konsumen tanpa menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.