Mark-up harga barang dan jasa adalah praktik menaikkan harga barang atau jasa jauh di atas harga pasar dalam suatu transaksi, baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Tindakan ini sering kali dilakukan secara tidak transparan dengan tujuan memperoleh keuntungan berlebih bagi pihak tertentu. Dalam sektor pengadaan barang dan jasa, mark-up harga dapat merugikan keuangan negara, mengurangi efisiensi anggaran, serta menurunkan kualitas barang atau layanan yang diterima masyarakat.
Modus Operandi Mark-Up Harga
Terdapat beberapa modus yang sering digunakan dalam praktik mark-up harga, di antaranya:
- Manipulasi Harga: Harga barang atau jasa sengaja dinaikkan dengan menambahkan biaya-biaya fiktif.
- Kolusi dengan Penyedia Barang/Jasa: Pejabat pengadaan bekerja sama dengan vendor tertentu untuk menetapkan harga lebih tinggi.
- Pengadaan Barang Berkualitas Rendah dengan Harga Tinggi: Barang yang dibeli tidak sesuai spesifikasi tetapi tetap dicantumkan dengan harga tinggi.
- Pengadaan Barang Fiktif: Dana dialokasikan untuk pembelian barang atau jasa yang sebenarnya tidak pernah ada.
- Penyusunan Spesifikasi yang Menguntungkan Pihak Tertentu: Spesifikasi barang disusun agar hanya vendor tertentu yang bisa menang, sering kali dengan harga lebih tinggi dari pasaran.
Dampak Mark-Up Harga dalam Pengadaan Barang
Mark-up harga dalam pengadaan barang memiliki dampak yang sangat merugikan, baik bagi negara maupun masyarakat, di antaranya:
- Kerugian Keuangan Negara: Dana yang seharusnya dapat digunakan untuk kebutuhan lain menjadi terbuang sia-sia.
- Menurunnya Kualitas Pelayanan Publik: Barang atau jasa yang diperoleh sering kali berkualitas rendah atau bahkan tidak sesuai kebutuhan.
- Tingginya Harga Barang dan Jasa: Harga yang tidak wajar meningkatkan biaya operasional, baik di sektor pemerintah maupun swasta.
- Meningkatnya Korupsi: Praktik ini sering kali berkaitan dengan korupsi yang lebih besar, termasuk suap dan gratifikasi.
Upaya Pencegahan Mark-Up Harga dalam Pengadaan Barang
Untuk mengatasi praktik mark-up harga, diperlukan berbagai langkah pencegahan, seperti:
- Transparansi dalam Proses Pengadaan: Pengadaan barang dan jasa harus dilakukan secara terbuka dengan sistem e-procurement.
- Audit dan Pengawasan Ketat: Lembaga pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus lebih aktif melakukan audit dan investigasi.
- Standarisasi Harga Barang dan Jasa: Pemerintah perlu menetapkan daftar harga standar untuk barang dan jasa yang sering dibeli dalam proyek pengadaan.
- Sanksi Tegas bagi Pelaku: Hukuman berat perlu diterapkan bagi pihak yang terbukti melakukan praktik mark-up harga.
- Meningkatkan Partisipasi Publik: Masyarakat dan media harus diberi akses untuk mengawasi pengadaan barang dan jasa agar tidak ada celah untuk manipulasi harga.
Sanksi Hukum
Sanksi hukum terhadap kasus mark-up harga dalam pengadaan barang di Indonesia diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, terutama dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi serta peraturan terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah. Berikut adalah beberapa ketentuan hukum yang dapat dikenakan terhadap pelaku mark-up harga:
1. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001)
Mark-up harga dalam pengadaan barang sering kali dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, terutama penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara. Beberapa pasal yang bisa dikenakan:
-
Pasal 2 Ayat (1):
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”
-
Pasal 3:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”
Dengan demikian, pejabat atau pihak swasta yang terlibat dalam mark-up harga bisa dikenai hukuman pidana berat jika terbukti merugikan negara.
2. UU Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres No. 12 Tahun 2021)
Dalam konteks pengadaan barang dan jasa pemerintah, ada beberapa sanksi administratif dan pidana bagi pelaku mark-up harga, antara lain:
- Larangan mengikuti tender dalam jangka waktu tertentu bagi perusahaan atau individu yang terbukti melakukan praktik curang.
- Blacklist terhadap penyedia barang/jasa yang terlibat dalam mark-up harga, sehingga tidak bisa mengikuti proyek pemerintah lainnya.
- Denda administratif, yang jumlahnya tergantung pada besaran kerugian yang ditimbulkan.
3. UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 8 Tahun 2010)
Jika hasil dari praktik mark-up harga disamarkan atau diinvestasikan dalam bentuk lain, maka pelaku juga bisa dijerat dengan UU Pencucian Uang. Hukuman yang bisa dikenakan:
- Penjara maksimal 20 tahun
- Denda maksimal Rp10 miliar
4. UU Perbendaharaan Negara (UU No. 1 Tahun 2004)
Pejabat yang menyalahgunakan anggaran negara, termasuk dalam bentuk mark-up harga, dapat dijerat dengan kewajiban mengembalikan kerugian negara. Jika tidak dilakukan, pejabat tersebut bisa dikenakan tindakan hukum pidana atau perdata.
Praktik mark-up harga dalam pengadaan barang merupakan tindakan melawan hukum yang bisa dikenai sanksi berat, baik berupa hukuman penjara, denda, maupun sanksi administratif. Oleh karena itu, transparansi dan pengawasan ketat sangat diperlukan untuk mencegah praktik ini terjadi.
Contoh Kasus Mark-Up Harga dalam Pengadaan Barang
Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di Kementerian Kesehatan
Latar Belakang:
Pada tahun 2020, Kementerian Kesehatan melakukan pengadaan alat kesehatan berupa alat pelindung diri (APD) dan ventilator untuk penanganan pandemi COVID-19. Namun, dalam proses pengadaan, ditemukan indikasi mark-up harga yang menyebabkan negara mengalami kerugian miliaran rupiah.
Modus Operandi:
- Manipulasi Harga – Harga APD yang seharusnya sekitar Rp. 500.000 per set dinaikkan menjadi Rp. 1.500.000 per set.
- Kolusi dengan Vendor – Perusahaan penyedia barang telah bekerja sama dengan oknum pejabat untuk memenangkan tender dengan harga yang telah di-mark-up.
- Barang Tidak Sesuai Spesifikasi – APD yang diterima ternyata berkualitas rendah dan tidak sesuai dengan standar medis yang berlaku.
- Dokumen Fiktif – Terdapat pemalsuan dokumen untuk menunjukkan seolah-olah pengadaan dilakukan dengan harga wajar.
Dampak:
- Kerugian Negara – Hasil audit menunjukkan negara mengalami kerugian sebesar Rp. 50 miliar akibat pembengkakan harga.
- Kualitas Layanan Menurun – APD yang tidak memenuhi standar membahayakan tenaga medis yang menggunakannya.
- Kepercayaan Publik Menurun – Masyarakat menjadi semakin tidak percaya terhadap transparansi anggaran pemerintah.
Sanksi yang Diberikan:
- Oknum Pejabat Dihukum – Pejabat yang terlibat dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
- Vendor Diblacklist – Perusahaan yang terlibat dilarang mengikuti proyek pengadaan pemerintah selama 5 tahun.
- Pengembalian Kerugian Negara – Dana yang dikorupsi harus dikembalikan melalui penyitaan aset pelaku.
Cara Mengetahui Adanya Mark-Up Harga
Untuk mengidentifikasi adanya mark-up harga dalam pengadaan barang dan jasa, beberapa metode yang dapat digunakan meliputi:
- Perbandingan Harga Pasar: Membandingkan harga barang atau jasa yang diadakan dengan harga pasar atau harga acuan resmi yang tersedia.
- Audit dan Investigasi: Lembaga pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat melakukan audit untuk mengidentifikasi ketidakwajaran harga.
- Analisis Spesifikasi Barang: Memeriksa apakah barang atau jasa yang dibeli sesuai dengan harga dan spesifikasinya, serta apakah terjadi pembengkakan biaya yang tidak wajar.
- Pemeriksaan Dokumen Pengadaan: Mengecek dokumen kontrak, faktur, dan laporan pengadaan untuk menemukan indikasi manipulasi harga.
- Pelaporan dari Masyarakat: Masyarakat dan pegawai internal dapat memberikan laporan atau pengaduan jika menemukan kejanggalan dalam proses pengadaan.
Kasus ini menunjukkan bagaimana praktik mark-up harga dalam pengadaan barang dapat merugikan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, transparansi, pengawasan ketat, serta hukuman yang tegas sangat diperlukan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan
Kesimpulan
Mark-up harga dalam pengadaan barang adalah salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara dan masyarakat. Dengan adanya transparansi, pengawasan ketat, serta penegakan hukum yang tegas, praktik ini dapat dikurangi sehingga dana publik dapat digunakan secara lebih efektif dan efisien untuk kepentingan umum.